
Pernahkah kalian merasakan bagaimana rasanya harus berhadapan dengan dua orang berwajah sama namun dengan kepribadian yang jauh berbeda? Aku pernah. Yang seorang mencintaiku dengan segenap hatinya, sementara yang lain membenciku dengan kebencian yang bisa membunuhku sewaktu-waktu. Hanya saja aku tidak tau bahwa akan seburuk ini hal yang terjadi padaku.
Peristiwa itu begitu membekas di kehidupanku, bahkan masih ku ingat hari dimana hal itu terjadi. Dengan mata penuh kebencian dia menerjang ke arahku, mengangkat tangan kanannya yang memegang pisau siap menusuk membabi buta kemana pun bagian tubuhku yang bisa dijangkaunya. Aku masih ingat rasa sakit saat itu. Tusukan pertama mengenai perut sebelah kiriku, lalu rasa sakit yang kedua menghantam paha kiriku, lalu kemudian perlahan-lahan rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuhku. Aku tidak ingat sampai tusukan keberapa hingga kesadaranku hilang sepenuhnya.
@@@
Aku mengenal mereka berdua sejak aku duduk di bangka Sekolah Menengah Atas. Mereka satu tahun angkatan di atasku. Tidak ada yang tidak mengenal mereka, kembar tampan dari keluarga kaya raya di kota kelahiran mereka. Dengan uang yang mereka miliki tidak heran jika penampilan mereka jelas berbeda level dengan teman-teman sebayanya. Hampir semua gadis berusaha menarik perhatian salah satu diantaranya. Jujur aku juga termasuk di antara para gadis itu.
Aku memang tidak istimewa, cantik bisa dibilang relatif, ekonomi keluarga cukup walau masih belum bisa dibilang menengah ke atas. Hanya malaikat keberuntunganku yang tau bagaimana aku bisa mendapat kesempatan untuk dekat dengan salah satu diantara si kembar.
Masih kuingat jelas hari dimana Filbert Risley Nevlin tersenyum padaku saat berada di kantin sekolah, aku yang pada saat itu sangat terkejut hanya bisa terdiam menatap ke arah matanya yang berwarna cokelat muda itu. Baru kali ini bisa kuperhatikan dengan jelas wajahnya yang selama ini hanya bisa kulihat dari kejauhan.
Sejak hari itu setiap hari pasti ada satu atau dua kali pertemuan yang selalu terjadi diantar kami berdua, walaupun harus kuakui bahwa kadang aku merasa aneh, bertemu dengan dua orang dengan wajah mereka sama, namun kepribadian yang sangat bertolak belakang, Filbert begitu berbeda dengan saudara kembarnya, Elbert Trixie Nevlin
Mereka berdua bagaikan langit dan bumi, Filbert yang ramah, pintar, selalu tersenyum, dengan kesan bersahabat yang menjadikannya begitu mudah dekat dengan siapapun, jika bukan karena kekayaan mereka mungkin akan banyak teman-temannya yang berani untuk mendekatinya. Sementara Elbert, keangkuhan begitu lekat di wajahnya, menjadikan tembok pembatas yang membuatnya terkesan begitu sulit untuk didekati. Elbert tidak segan untuk menunjukkan ketidak sukaannya saat ada yang mengganggu ranah pribadinya.
Semakin lama hubungan itu berkembang dengan manisnya antara aku dan Filbert, walau harus diselingi dengan keangkuhan dan kata-kata pedas Elbert saat kami terpaksa harus bertemu bertiga. Aku bahkan tidak tau apa yang menjadikannya begitu membenciku, tapi paling tidak aku tau jika Elbert tidak hanya membenciku saja, namun membenci hampir semua orang yang dikenalnya. Entah seberapa kesepiannya hidupnya selama ini, dia hampir tidak pernah terlihat berkumpul berkelompok seperti anak-anak orang kaya pada umumnya.
@@@
Namun dibalik setiap kegembiraan tidak akan pernah berlangsung selamanya, kami tidak penah tau bahwa jalinan takdir mempertemukan kami dengan cara yang berbeda setelahnya. Tepat saat aku menyelesaikan pendidikanku sarjanaku di bagian desain dengan hasil yang memuaskan, Filbert tiba-tiba memutuskan hubungan denganku tanpa ku tau apa alasannya. Tidak ada lagi pesan singkat darinya, tidak ada lagi telepon manis darinya, semuanya seakan dibuangnya seolah tidak pernah terjadi. Aku yang berusaha untuk mencarinya pun tidak mendapat jawaban yang memuaskanku. Filbert begitu juga dengan Elbert seolah menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang tau kemana mereka pergi.
Sampai sekitar enam bulan kemudian, Filbert mengajakku bertemu di bangunan kantor yang ku tau adalah milik mereka. Tentu saja tidak kusia-siakan kesempatan itu, minimal walaupun kami tidak bisa kembali lagi menjadi sepasang kekasih seperti dulu, aku mendapat jawaban atas kepergiannya
Aku tiba lebih dulu di rooftop gedung kantor yang sudah sepi karena sudah lewat jam kerja, paling tidak hanya tinggal beberapa orang yang harus lembur menyelesaikan pekerjaan mereka, tapi di sini kami bisa bertemu berdua seperti biasanya. Tidak ada kecurigaan sedikit pun apa yang akan terjadi berikutnya.
Sekitar sepuluh menit menunggu, seseorang tiba, seseorang yang kusangka adalah Filbert karena memang dari handphone miliknya pesan singkat itu kuterima, namun yang datang justru Elbert, masih kuingat jelas matanya yang walau sama dengan mata milik Filbert, memancarkan kebencian yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Mata gelap yang seolah siap melakukan sesuatu yang mengerikan.
Elbert berjalan mendekatiku, dari awal dia melangkah mendekatiku, mulutnya mengeluarkan kata-kata yang meruntuhkan duniaku. Di setiap langkahnya dia mencaci maki diriku yang sudah masuk ke kehidupan mereka, mengutuk ibuku yang ternyata adalah istri kedua ayah mereka, memberikan kemungkinan bahwa aku dan mereka berbagi ayah yang sama, memberi tahu bahwa ibu mereka sudah meninggal karena bunuh diri mengetahui perselingkuhan ayah mereka. Dan saat itu, di tempat itu dia ingin menuntut balas atas semua yang terjadi.
Jarak antara aku dan Elbert tinggal tiga langkah lagi, secepat kilat dia menerjang ke arahku, dan sebelum kesadaran meninggalkanku, bisa kulihat sosok Filbert yang berlari menerjang ke arah saudara kembarnya. Aku tidak tau bagaimana saat itu perasaan Filbert melihat saudara, sahabat, dan rivalnya sejak dari dalam kandungan sanggup melakukan perbuatan seperti itu.
@@@
Saat ini, aku sudah pulih dan bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya. Satu-satunya yang masih mengganjal adalah pantulan diriku di cermin. Saat aku telanjang, masih jelas tampak dua belas bekas luka dimana mata pisau Elbert mengiris kulitku. Lukanya memang tidak mematikan karena Elbert menggunakan pisau lipat kecil yang bisa dibawa di saku celananya namun untuk sepenuhnya hilang hanya bisa melalui operasi plastik.
Traumaku akan kejadian hari itupun masih begitu membekas, tidak jarang aku bangun di tengah malam dengan kondisi berkeringat dan jantung yang berdetak tidak karuan. Seolah-olah Elbert bisa sewaktu-waktu kembali membalaskan sakit hatinya yang ditujukan kepadaku.
Dari Filbert aku tau bahwa Elbert memang tidak berniat membunuhku, menurut pengakuan Elbert pada pihak kepolisian dia hanya ingin meninggalkan luka bagiku, merusak apa yang dianggapnya juga merusak keluarga mereka, membunuh ‘kecantikan’ seorang perempuan yang baginya juga sudah membunuh ibu kandungnya. Baginya ibuku yang sudah membuat ibunya meninggal dan sebagai pembalasannya dia juga ingin merusakku.
Kemudian terbukti bahwa aku tidak berbagi ayah dengan mereka berdua. Ibuku baru menjadi istri kedua ayah mereka tiga tahun setelah kelahiranku, tuntutan ekonomi menjadikan ibuku menerima saja tawaran menjadi istri kedua seorang konglomerat. Aku yang masih sangat kecil membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sekarang aku baru tau darimana uang yang dikeluarkan ibuku untuk membiayaiku. Usaha salon ibuku memang berjalan namun itupun atas dukungan dana dari ayah si kembar. Atau haruskah kupanggil dia ayah karena secara tidak langsung dia juga adalah ayah tiriku. Sudahlah, nanti orang akan pikir aku mau mengakuinya ayah hanya karena dia kaya, seandainya dia tidak kaya melihatpun tidak.
Yang kuperlukan saat ini adalah menata kembali hidupku, membuka hatiku untuk orang lain, walaupun di dalamnya masih ada Filbert, aku memang tidak ada hubungan darah dengannya, namun sesuai norma dia tetap kakakku.
Nanti saja, pelan-pelan pasti ada jalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar