Aku terbangun di tempat yang asing, entah bagaimana hingga aku bisa berakhir di sini. Tempat ini tidak aku kenal, sebuah rumah sederhana dari kayu yang seolah dibuat oleh tangan yang kurang ahli. Aku mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi pada diriku, tapi aku tidak bisa. Seolah ada tembok yang menghalangiku untuk mengingat apapun. Bahkan untuk mengingat namaku saja aku tidak bisa.
Perlahan-lahan aku bangkit, mencoba mencari tau apa yang sesungguhnya sedang kuhadapi. Aku keluar dari ruangan tempat dimana aku tersadar, sepertinya ini ruang tidur. Aku berjalan menuju kemana kakiku melangkah. Rumah ini kecil, sangat kecil, baru berapa langkah aku menapak ke luar, jantungku seolah meloncat ke udara. Di sana, duduk di salah satu kursi yang dibuat dari kayu dengan seadanya, seorang laki-laki. Dia duduk di sana seolah sedang menungguku sadar dan keluar dari kamar.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menatapku dengan tatapannya yang dingin. Apakah aku pernah berbuat salah? Sepertinya tidak, bahkan untuk mengingat namaku pun aku tidak bisa. Atau mungkin aku pernah menyakitinya sebelum aku melupakannya?
“Apa maksudmu datang kemari?” dia bertanya dengan suara yang tenang namun seolah ada nada kebencian dalam suaranya.
Aku terdiam tidak tau harus menjawab apa, karena terus terang akupun tidak tau kenapa tiba-tiba aku bisa berada di sini.
“Kau tidak bisu, kan?” tanyanya dengan dingin.
Sekali lagi aku terkejut mendengar nada suaranya. Aku berusaha menjawab, “Aku tidak tau apa maksudmu.”
Sebelum aku sempat mengatakan apapun, dia bangkit dari kursinya, dalam hitungan detik dia sudah berada di depanku, memegang bahuku dengan kasar, lalu berteriak kepadaku, “Jangan pura-pura tidak tau dan tidak mengerti, pasti ada sesuatu yang salah di sini, setelah sekian lama aku tinggal di sini, tiba-tiba mereka mengirimmu ke sini pasti dengan maksud tertentu!”
Aku berusaha melepaskan diriku darinya, cengkeramannya di bahuku mulai menyakitkan. Entah mendapat kekuatan dari mana, aku mendorong dia menjauh dariku, “Tommy! Lepaskan! Kau menyakitiku!”
Mendengar apa yang kukatakan, dia begitu terkejut sampai-sampai dia terjatuh begitu aku mendorongnya ke belakang. Kenapa? Ada apa? Apa yang salah? Gelombang menakutkan menyerangku. Aku tidak tau namaku, tapi aku tau namanya!
“Bagaimana kau bisa tau? Bagaimana kau tau namaku? Aku bahkan tidak pernah menyebutkannya padamu! Aku bahkan tidak kenal kau!” dia berkata, namun nada suaranya berubah, sedikit kebencian ditambah sedikit rasa takut.
“Aku tidak tau. Nama itu langsung muncul di kepalaku. Apa benar itu namamu?”
Dia mengangguk, dan itu membuatku semakin takut. Namun sedetik kemudian aku mengingat sebuah nama lagi. Thania. Mungkinkah itu namaku? Aku ingat beberapa orang memanggilku dengan nama itu. Tapi siapa mereka? Aku tidak mengenal satupun di antara mereka.
“Apalagi yang kau ingat?”
“Aku ingat namaku. Aku Thania.”
“Wooowww... lebih cepat dari yang kukira. Aku menghabiskan dua hari untuk memikirkan namaku, dan kau hanya butuh sekian menit?”
Dua hari? Memikirkan namanya? Aku bingung mencerna informasi ini. Mungkinkah dia sama denganku, terbangun dengan kotak memori yang hampir kosong? Lalu kenapa kami ada di sini? Tapi sepertinya agak sulit untuk mencari tau. Sikap tidak bersahabatnya membuatku takut untuk bertanya.
Diluar dugaan sikapnya berubah, “Aku tidak tau apa maksudnya kau dikirim kemari, namun ada baiknya kita mulai untuk saling bekerja sama. Di sini, di tempat ini, hanya ada kita berdua. Aku juga tidak tau bagaimana kita ada di sini, tapi yang pasti kita diharapkan bisa bertahan hidup di sini.”
Aku mengangguk, tak bisa berkata apapun, karena aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Sisa hari berikutnya kulalui seperti seorang robot. Aku mengikuti semua yang dia katakan, menuruti semua perintahnya, mengurus ternak, mengurus ladang, membersihkan “rumah”, segala tugas untuk membuat kami bertahan hidup. Perlahan tetapi pasti aku menyadari bahwa apapun yang kami lakukan di sini, itulah yang akan kami dapatkan untuk kehidupan kami. Bekerja artinya kami bisa makan dan hidup, tidak bekerja berarti tidak ada makanan, dan itu berarti kematian di depan mata, Aku tidak tau bagaimana dia bisa memulai semuanya ini, tapi harus kuakui bahwa ini hebat.
Kesempatanku untuk bertanya akhirnya datang. Di satu pagi dimana biasanya kami harus mengurus ladang dan ternak, hujan mengguyur dengan derasnya. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali duduk di dalam rumah dan menunggu hujan reda. Kami duduk di sana, diam satu sama lain, tidak ada yang memulai percakapan.
Kesunyian ini menyesakkan, akhirnya kuberanikan diriku untuk bertanya padanya, “Apakah kau keberatan jika aku memintamu untuk bercerita tentang semua ini?”
Dia diam sejenak lalu mengangguk, “Aku juga sama sepertimu, aku bangun di sini, di tempat ini tanpa ingatan apapun. Bedanya adalah aku sendirian, tidak ada apapun di sini, bahkan rumah ini pun belum ada. Yang ada hanya semua bahan-bahan mentah yang aku tau harus aku gunakan untuk bertahan hidup. Aku tidak punya waktu memikirkan apapun, aku harus secepatnya bekerja jika tidak ingin mati kelaparan di sini. Bekal yang kutemukan hanya cukup untuk satu minggu.
Sedikit demi sedikit aku membangun rumah ini, awalnya hanya satu ruangan tempat aku bisa berteduh kala panas dan hujan, bisa istirahat dengan tenang di malam hari. Semua kulakukan secepat mungkin, menanam benih, menyiapkan tempat untuk ternak yang sudah disediakan, dan semua yang ku tau bisa membuatku bertahan seandainya bekal itu habis. Dan aku berhasil.”
“Ya, aku bisa melihatnya. Jujur aku sedikit kagum padamu karena bisa membuat semua ini sendirian.”
“Terima kasih, kuanggap itu pujian,” dia tersenyum. Baru kali ini aku menyadari bahwa keadaan mengubahnya menjadi lebih baik.
“Berapa lama kau sendirian sebelum aku datang?”
“Aku tidak tau pastinya, tapi yang pasti sekitar tiga bulan.”
Kami sama-sama terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Tiga bulan! Sendirian! Berbagai pertanyaan seolah muncul di kepalaku, tapi sudahlah tidak akan habisnya jika tetap kupikirkan, biarkan saja itu terjawab satu persatu.
“Apakah kau tau mengapa kita di sini? Maksudku apa yang sebenarnya terjadi pada kita?”
Dia menjawab, “Entahlah, aku sudah tidak mau memikirkannya lagi. Karena itu hanya membuatku sadar bahwa aku tidak bisa mengingat apapun. Lebih baik aku berpikir bagaimana caranya untuk tetap bisa makan sehari-hari.”
“Tidak pernahkah kau berpikir untuk keluar dari sini?”
“Tentu saja pernah, aku sudah berjalan jauh saat semua pekerjaanku selesai, namun yang kutemukan hanya jurang di sekeliling kita. Aku tidak tau apakah ada jalan lainnya, tapi aku sudah berkeliling di sepanjang tepian jurang, dan yang kutemukan adalah aku kembali ke tempat yang sama.”
Sisa hari itu kami lalui dalam hening.
Waktu seolah-olah berputar dengan teratur tanpa kejadian yang berarti. Segalanya berjalan sesuai dengan rutinitas yang dimulainya sejak pertama kali dia tiba di sini. Jujur aku berterima kasih dia mau menerimaku untuk berada di tempat ini, jika tidak bisa kupastikan aku sudah mati beberapa hari sejak aku tiba di sini. Mati kelaparan, kehausan, dan kedinginan. Aku mencoba tidak memikirkannya. Sebisa mungkin aku menahan segala emosi yang mungkin bisa membuatnya marah padaku. Bagaimanapun dia laki-laki dan aku perempuan. Dan harus diakui dia tuan rumahnya dan aku hanya tamu.
Tiga bulan berlalu sejak aku tiba di sini, di satu pagi begitu kami ingin memulai kegiatan kami, di halaman rumah kami menemukan sebuah pesan. Pesan yang entah dari mana datangnya, seolah diantar oleh tukang pos. Tukang pos? Aku tersenyum dalam hati, aku tidak pernah melihat ada manusia lain selain kami di sini, bagaimana mungkin ada tukang pos?
Isinya pesan itu menjawab seluruh pertanyaan kami,
“Kepada Tommy dan Thania yang terkasih, mungkin kalian tidak tau siapa kami, tapi kami tau dengan jelas siapa kalian. Kalian adalah remaja yang dengan berani menjadi sukarelawan untuk menguji sebuah mesin waktu untuk kembali ke masa lalu. Aku sangat menghargai keikhlasan kalian untuk memajukan teknologi kita, namun harus kuakui bahwa percobaan itu gagal. Aku mohon maaf karena kalian harus berakhir di tempat itu dengan tanpa bisa mengingat apapun di kehidupan kalian dulu.
Pada awalnya begitu aku tau bahwa uji coba itu tidak berjalan dengan lancar, aku sudah memutuskan untuk merelakan Tommy dan belajar melupakannya, namun tentangan demi tentangan membuatku berpikir ulang tentang keputusanku. Aku mengirimkan semua yang kau perlukan untuk bertahan hidup sambil terus meminta rekanku mencari cara untuk membawamu kembali. Bulan demi bulan berlalu tanpa kemajuan yang berarti, sampai akhirnya Thania datang menawarkan diri untuk menemanimu di sana, mungkin kalian tidak ingat, tapi kalian adalah sepasang kekasih di sini.
Tommy dan Thania belajarlah untuk bisa bertahan hidup di sana, kami akan mencari cara agar kalian bisa kembali lagi ke sini. Aku sungguh menyesal.”
Aku terdiam berusaha mencerna semuanya. Kabut yang selama ini menutupi pikiranku seolah-olah terbuka. Walaupun aku tidak bisa mengingatnya tapi paling tidak kami menemukan jawabannya. Jawaban yang selama ini kami cari. Setitik kehangatan menyeruak dari hatiku.
Lalu hari itu, Tommya mengajakku ke suatu tempat, aku tidak tau bahwa tempat itu ada, sebuah pantai yang indah. Baru kali ini aku merasakan bahagia sejak aku tiba di sini. Aku sudah menemukan jawabannya, entah itu benar atau tidak, tapi setidaknya kami tidak bertanya-tanya lagi dalam hati.
Dan di pantai ini, semuanya menjadi berbeda. Sepasang kekasih dari masa depan, kalaupun itu hanya karangan saja, setidaknya kami laki-laki dan perempuan. Normal. Aku tersenyum, dan Tommy membalas senyumanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar