Hari itu aku memutuskan untuk pergi sejenak, meninggalkan rasa sakit yang terasa mengganjal di dalam hatiku. Perjalanan ke luar negeri untuk menyepi. Perjalanan yang secara mendadak kuputuskan setelah mendengar jawabanmu tentang hubunganku dengan orang yang begitu kucintai. Menghilang sejenak tanpa bisa dihubungi oleh siapapun. Benar-benar menyendiri dan menikmati suasana yang berbeda.
Sambil menanti pesawat yang akan membawaku ke sana, bisa kulihat begitu banyak orang dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk dengan telepon genggamnya, dengan keluarganya, dengan kekasih atau istrinya, atau yang menyendiri pun kebanyakan sibuk berselancar di dunia maya. Bisa kurasakan hanya aku yang memutuskan untuk menghentikan komunikasiku dengan siapapun. Menyepi, hanya itu yang kubutuhkan hingga saat aku kembali, rasa sakit ini sedikit terobati.
Akhirnya, pesawat yang kunantikan tiba. Bersama penumpang yang lain kami memasuki kabin pesawat dengan harapan akan tiba di tempat tujuan kami dengan selamat. Tidak ada firasat buruk apapun kurasakan, hanya keinginan untuk secepatnya tiba di tempat aku berharap memperoleh kedamaian.
Begitu pesawat kami meninggalkan bandara dan berada di ketinggian, bisa kulihat awan yang ada disekitarku, namun hanya hampa yang kurasakan. Namun semuanya berubah hanya dalam hitungan menit. Nasib manusia tidak ada yang tau. Keinginan untuk menyepi dan menyembuhkan luka hatiku harus kubayar dengan mahal.
Hanya beberapa menit mengudara tiba-tiba pesawat yang kami tumpangi menukik ke belakang dengan kencang. Tidak ada yang tau apa yang terjadi, di sekitarku hanya kudengar teriakan yang memanggil nama Tuhan, sebagian berdoa dengan kencang, sebagian lagi menangis dengan pasrah memohon ampun untuk semua dosa yang dilakukan.
Aku yang duduk di kursi bagian tengah langsung merasakan genggaman di kedua tanganku, seorang laki-laki dan seorang wanita di sebelah kanan dan kiriku langsung menggenggam tanganku. Kami bergandengan tangan seolah-olah saling menguatkan atau bahkan mungkin saling berbagi rasa takut. Aku tidak mampu berpikir, rasa sakit hatiku seolah membuatku gelap mata, seolah aku tidak takut sama sekali akan kematian yang rasanya begitu dekat. Begitu mengerikankah rasa sakit ini sehingga kematianpun seolah tidak lebih buruk dibandingkan dengannya?
Aku bahkan tidak sempat berpikir apapun saat pesawat kami menghantam air, tapi kemudian rasa panik menyerangku. Tidak! Apapun asal jangan air! Aku begitu takut dengan air, aku tidak bisa berenang, setiap kali wajahku masuk ke air, aku langsung tidak bisa mengendalikan kesadaranku, aku tidak tau lagi mana bagian atas dan bagian bawah, kepanikan selalu melandaku setiap kali itu terjadi. Jangan air! Apapun asal jangan tenggelam!
Seolah memahami ketakutanku, penumpang di sebelahku berkata bahwa jika kami tenggelam, mereka akan membantuku agar sampai ke permukaan, seakan mereka tau bahwa aku sangat ketakutan.
Air perlahan-lahan mulai naik membasahi kakiku, namun semua kru pesawat meminta kami tetap tenang agar pesawat tidak tenggelam. Aku tetap duduk diam di tempatku, berusaha tidak bergerak dan menambah buruk keadaan kami. Anehnya semua orang melakukan hal yang sama. Suasana berubah menjadi sunyi tanpa suara apapun. Aku tidak tau apa yang mereka semua pikirkan, mungkin sebagian berpikiran yang sama denganku, atau mungkin sebagian sudah pasrah akan keadaan ini dan memilih berdoa sebelum nyawa mereka benar-benar terpisah dari tubuhnya. Entahlah.
Detik demi detik berlalu namun rasanya seolah begitu lama. Kami tetap berusaha tenang, aneh memang kami tetap tidak tenggelam, ditambah lagi pesawat yang seolah-olah hanyut di permukaan mengikuti arus lautan. Segelintir perasaan yang aneh menggangguku, apakah mungkin hal seperti ini terjadi?
Jawabannya segera kuketahui, aku tidak tau apa yang mendorongku untuk menengok keadaan diluar. Dan yang kulihat sungguh diluar akalku. Lewat jendela di sebelah kiriku dapat kulihat pesawat yang sama yang tadi kunaiki kini hanya tinggal puingnya, menghujam lautan dangkal dengan kuat seolah ditancapkan dengan sengaja di sana. Di sekitarnya begitu banyak tim yang berusaha menolong mereka yang tersisa. Dapat kulihat juga begitu banya barang berserakan di sekitarnya. Dan kemudian dengan jelas kulihat di sana, tubuh-tubuh tak bernyawa mengambang di permukaan.
Seketika tubuhku terasa dingin, keheningan di sekitarku semakin mencekam. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kami? Apakah mungkin dua pesawat yang sama mengalami kecelakaan di tempat yang sama? Lalu kenapa kami tidak mendapat pertolongan? Kenapa kami dibiarkan di sini menanti kematian? Sekelilingku seolah berpikiran yang sama. Kami bertanya-tanya. Dan pertanyaan yang paling mengerikan adalah “Apakah aku, apakah kami semua sesungguhnya sudah mati?”
Aku memandang keadaan di sekelilingku, mereka pun melakukan hal yang sama. Bertanya tanpa kata apa yang sebenarnya terjadi di sini. Lalu hal yang paling mustahil terjadi di depan mataku, di depan mata kami. Satu per satu penumpang menghilang tanpa jejak. Menghilang! Mereka seolah diambil oleh sesuatu yang tidak bisa kami lihat. Sebelum aku sempat berpikir apapun, semuanya tiba-tiba gelap.
Aku tidak sanggup membuka mataku, tubuhku rasanya dingin sekali, apakah aku sudah mati? Tubuhku rasanya mati rasa, aku tidak bisa merasakannya. Aku ingin membuka mataku, namun aku merasa tidak tau bagaimana caranya. Perlahan-lahan indraku mulai bekerja kembali. Bisa kudengar suara-suara di sekelilingku, teriakan yang tidak bisa kutangkap apa maksudnya.
Lama kutunggu hingga aku mulai bisa merasakan tubuhku, aku berusaha membuka mataku, namun aku terpaksa memejamkannya kembali. Sinar yang begitu terang seolah membutakanku. Sedikit demi sedikit kubiasakan mataku untuk menerima sinar itu. Begitu mataku terbiasa aku tau bahwa sinar itu adalah matahari yang sedang menyengat. Matahari siang. Aku juga tau bahwa tubuhku sedang terbaring basah kuyup. Tapi dimana?
Begitu aku merasa cukup kuat untuk mengendalikan tubuhku, aku membuka mataku, melihat sekelilingku dan seolah seluruh perasaanku tidak terisi dengan apapun selain dengan rasa syukur yang begitu besar. Tuhan memberiku kesempatan kedua.
Aku berada di atas kapal penyelamat. Bisa kulihat beberapa orang juga mulai sadar dari keadaan mereka yang diambang kematian sepertiku. Kami menangis tanpa suara, mengucap syukur dan terima kasih yang begitu luar biasa. Dan terlebih lagi aku merasakan perasaan aneh terhadap orang-orang sekelilingku. Aku merasa sudah begitu dekat dengan mereka. Aku bisa melihat tatapan mereka mengatakan hal yang sama kepadaku. Memang tidak semua dari kami selamat, mereka yang kulihat hilang di dalam pesawat tidak ada bersama kami. Apa mungkin saat mereka hilang dari hadapan kami berarti mereka mungkin memang sudah meninggal? Aku tidak tau.
Hingga hari ini, kejadian yang kualami masih menjadi misteri. Aku berusaha tidak memikirkannya, karena kesempatan kedua sudah diberikan kepadaku. Sampai kemudian aku bertemu lagi dengan wanita yang berada di sebelahku saat kecelakaan itu terjadi. Seperti saat bertemu dengan orang yang senasib, kami bertukar cerita tentang kecelakaan itu. Dan yang mengejutkanku, dia juga melihat dan mengalami hal yang sama.
Mungkinkah sesungguhnya saat itu sebenarnya roh kami sudah meninggalkan tubuh kami? Dan yang kami lihat adalah hanya sosok raga kami yang sudah kehilangan kehidupannya? Tapi disinilah kami sekarang, hidup dan bernafas. Kami masih bisa meneruskan hidup kami masing-masing. Kesempatan kedua itu selalu ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar